Rabu, 27 Juli 2011

Ketika Allah Menjadi Alasan Utama

Dikutip dari :Bunda Givaldi

Kepada yang ingin menikah tapi sampai sekarang belum menikah, kepada yang sering berdo’a dipertemukan dengan jodohnya tetapi belum dipertemukan, kepada para pasangan yang sudah ingin menikah tetapi belum dimuluskan jalannya menuju pernikahan, ada baiknya surat dibawah ini menjadi renungan bersama. Surat yang ditulis oleh seorang istri kepada suaminya. Selamat membaca…


Suamiku, ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan untuk menerima pinanganmu dan berpasrah ketika kau berkehendak menyegerakan pernikahan kita.


Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berani memutuskan dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak ragu tentang dirimu, kau jemput aku di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi urusan Allah. Sehingga aku dinikahi seorang lelaki shalih, tegar, dan menjadi komitmenku untuk berbakti kepada suami.

Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan suamiku. Dan sekuat tenaga pula, aku mencoba membahagiakan dia.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka menetes air mataku saat melihat segala kebaikan dan kelebihan suamiku, yang rasanya sulit aku tandingi.
Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka akupun berdoa, Yaa Allah, jadikan dia, seorang lelaki surga, suami dan ayah anak-anakku, yang dapat menjadi jalan menuju surga-Mu. Aamiiin.

Telah menjadi azzamku, kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk menikah, maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok, yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentramkan jiwa, yang…..yang.…yang……dan 1000 “yang”…… lainnya….. Karena semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan. Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu segalanya.

Ketika usiaku 20 tahun, aku sudah memiliki niat untuk menikah, meskipun hanya sekedar niat, tanpa keilmuan yang cukup. Karena itu, aku meminta jodoh kepada Allah dengan banyak kriteria. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 21 tahun, semua orang-orang yang ada di sekelilingku, terutama orang tuaku, mulai bertanya pada diriku dan bertanya-tanya pada diri mereka sendiri. Maukah aku segera menikah atau mampukah aku menikah? Dalam doaku, aku kurangi permintaanku tentang jodoh kepada Allah. Rupanya masih terlalu banyak. Dan Allah-pun belum mengabulkan niatku.

Ketika usiaku 22 tahun, aku bertekad, bagaimanapun caranya, aku harus menikah. Saat itulah, aku menyadari, terlalu banyak yang aku minta kepada Allah soal jodoh yang aku inginkan. Mulailah aku mengurangi kriteria yang selama ini menghambat niatku untuk segera menikah, dengan bercermin pada diriku sendiri.

Ketika aku minta yang tampan, aku berpikir sudah cantikkah aku?
Ketika aku minta yang cukup harta, aku berpikir sudah cukupkah hartaku?
Ketika aku minta yang baik, aku berpikir sudah cukup baikkah diriku?
Bahkan ketika aku minta yang soleh, bergetar seluruh tubuhku sambil berpikir keras di hadapan cermin, sudah solehahkah aku?

Ketika aku meminta sedikit….. Ya Allah, berikan aku jodoh yang sehat jasmani dan rohani dan mau menerima aku apa adanya, masih belum ada tanda-tanda Allah akan mengabulkan niatku.

Dan ketika aku meminta sedikit…sedikit…sedikit…lebih sedikit….. Ya Allah, siapapun lelaki yang meminangku langsung khan kuterima ajakannya untuk menikah tanpa banyak bertanya, berarti dia jodohku. Dan Allah-pun mulai menujukkan tanda-tanda akan mengabulkan niatku untuk segera menikah. Semua urusan begitu cepat dan mudah aku laksanakan. Alhamdulillah, ketika aku meminta sedikit, Allah memberi jauh lebih banyak. Kini, aku menjadi isteri dari seorang suami yang berilmu, bijaksana, dan menerimaku apa adanya.

Read More..

Kosong

Dikutip dari :http://www.edo.web.id/wp/2009/09/19/kosong/

Lebaran tengah menjelang. Ramadhan mencapai akhirnya. Apa yang kita dapatkan di Ramadhan kali ini?

Bertahun-tahun lebaran saya isi dengan sebuah kekecewaan tentang makna puasa dan lebaran itu sendiri. Selalu apatis terhadap orang yang pulang kampung yang menghabiskan jutaan rupiah sebagai bentuk ke-ria-an (bukan riya) meski membuat roda ekonomi bergulir cepat. Selalu sinis ketika orang berduyun-duyun narsis dan gombal pada Tuhan-nya, menuntut pamrih atas janji-Nya dibulan penuh rahmat. Mengutuk menurunnya produktifitas atas nama perintah agama dan Tuhan. Mempertanyakan apakah memang ini yang diharapkan-Nya dibulan suci ini.


Daripada buang uang dengan mudik dengan berbagai polusi yang diciptakan oleh jutaan kendaraan, lebih baik digunakan untuk yang lebih bermanfaat kataku. Mengingat Tuhan itu bukan hanya dominasi bulan puasa, toh harus dilakukan kapan saja. Bahkan janji Tuhan itu tak perlu ditagih. Sorga dan neraka itu tak perlu dipertanyakan. Produktifitas seharusnya meningkat di bulan suci, bukannya malah loyo dan berejakulasi atas nama Tuhan. Begitulah apa yang ku fahami selama ini.

Dan tahun ini?

Tahun ini aku masih berontak pada-Nya. Tapi dalam sebuah kelelahan. Sebuah ketidakberdayaan. Tak ada lagi serapah tentang mudik, narsis dan produktifitas. Tidak ada. Yang tersisa hanya kekosongan. Sebuah refleksi ke-aku-an ku. Keakuan ternyata hanya menghasilkan sebuah kekosongan. Hanya yang esa yang berhak dan layak berkata Aku. Karena ke-Aku-an memang hanya akan menghasilkan kesendirian. dan aku lelah.

Didiri manusia memang bersemayam nilai ketuhanan, termasuk nilai iblis, setan, malaikat, binatang. Wajar sebenarnya jika manusia memiliki sisi ke-aku-an, sebagai representatif sisi ke-Tuhan-annya. Hanya saja dia akan menjadi masalah ketika aku itu menciptakan kesombongan. Berada dititik yang tidak seharusnya. Dan yang lebih merepotkan lagi, jika Aku yang sedang bersemayam bukan Aku-nya Tuhan. Tapi aku-nya setan, aku-nya iblis, aku-nya binatang. Dan usai lah sudah. Dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh manusia, potensi untuk memahami segala sesuatu secara tidak utuh sangat mungkin terjadi. Dan yang ada adalah sebuah kefahaman yang didasari oleh ketidakfahaman.

Sebuah tulisan dari sang bengawan Gede Prama tentang kosong dan isi menyadarkanku atas rasa yang bergulat kali ini. Tentang kosong. Tentang isi.

Kosong, nol, hampa, tiada. Kekosongan memang identik dengan nilai-nilai yang berbau tidak menyenangkan. Kosong itu menyiksa, hampa itu menakutkan, tiada itu mengerikan. Dan memang begitu adanya, jika alat ukur yang digunakan hanyalah kepala.

Namun pernahkan terbayang jika alam semesta ini semua terisi, sehingga bahkan udarapun tidak memiliki tempat untuk bersemayam? Lalu apa yang akan kita hirup untuk menyambung hidup?.

Kepala ini semakin pusing ketika pemahaman-pemahaman itu tak berhenti mengisi ruang-ruang otak. Aku lupa. Lupa bahwa berfikir itu bukan saja hak otak. Masih ada hati yang harus digunakan. Paradigma dikotomis benar-salah, sukses-gagal, sedih-gembira dan lain sebagainya sebagai hasil berfikir dengan kepala yang berlebihan ternyata hanya menghasilkan sebuah keruwetan yang memusingkan dan tak bernah ada akhirnya.

Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bekasnya
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
Semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan

Begitu kata sang begawan Gibran. Jika saja sedih dan bahagia itu diganti dengan kosong dan isi, maka besarkan kekosongan itu juga bermakna seberapa besar isi yang bisa ditampung.

Hanya yang pernah sakit yang mengerti nikmatnya sehat. Hanya yang pernah kehilangan yang mampu mensyukuri nikmatnya memiliki sesuatu. Hanya yang pernah sedih yang mampu menikmati artinya bahagia.

Bulan puasa kali ini benar-benar telah memberikan makna yang dalam bagiku. Karena bulan ini adalah waktu yang dispesialkan oleh Tuhan untuk mengosongkan diri. Untuk berhenti sejenak dari analisa-analisa tak berujung yang dibuat oleh kepala. Agar kita mampu memahami arti sebuah kekosongan, ketidakberdayaan, ketidak-kuasa-an.

Duh, betapa sulit untuk mampu bersikap arif…

Diselingi nyanyian takbir, aku, disini, mencoba memahami kekosongan. Mencoba mencari sesuatu dari ketiadaan. Mengharap mendapat makna yang dalam, dari kekosongan dan ketiadaan itu itu sendiri. Mengharap mampu seperti udara, yang hidup di ruang kosong tapi memberi manfaat yang luar biasa. Mencoba memahami bahasa tangis bayi, yang apapun sukunya, siapapun bapaknya, ditanah manapun dia terlahir, dia tetap menghasilkan bunyi yang sama. Dan bahasa itu mampu dipahami oleh siapa saja.

Selamat hari raya Idul Fitri…

Mohon maaf lahir dan Bathin…

Hening itu tidak mati. Dalam hening ada suara - Aas Rukasa. Thank you kang…

Read More..

Pahitnya Tahun Pertama Perkawinan

Siapa bilang tahun pertama itu manis melulu? Enggak juga, kok! Justru tahun pertama paling rawan dalam perkawinan

Kita mungkin akan terkejut dan heran bila mendengar suami-istri yang baru beberapa bulan menikah tapi sudah bercerai. Bukankah pada masa itu mereka bisa dibilang masih dalam masa berbulan madu? Tapi, itulah kenyataannya, tak sedikit pasangan yang justru bercerai sebelum usia perkawinan mereka genap setahun.


Tahun pertama perkawinan memang paling rawan. Ibarat koin, kata Dra. Dharmayati Utoyo Lubis, MA, PhD., tahun pertama memiliki dua sisi. "Satu sisi memang masih bulan madu, masih manis. Satu sisi lainnya adalah masa penyesuaian, sehingga akan banyak menumbuhkan konflik," terang pembantu dekan I Fakultas Psikologi UI ini. Nah, konflik inilah yang merupakan pemicu terjadinya perceraian apabila suami-istri tak mampu mengelola konflik secara baik.

TAK SEMANIS YANG KUSANGKA

Yang namanya bulan madu, ujar Yati, maka kemanisan itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. "Sesudah itu muncullah topeng sebenarnya. Di balik segala kebagusan yang selama ini ditunjukkan sejak masa pacaran, kini mulai kelihatan borok-boroknya." Dengan kata lain, masing-masing mulai keluar watak aslinya. Hal ini terjadi lantaran mereka sudah capek memakai topeng, sudah capek untuk menampilkan yang bagus-bagus melulu.

Nah, pada saat itulah, ketika mereka mulai kelihatan aslinya, mulailah muncul pertanyaan-pertanyaan. "Sebenarnya apa, sih, yang membuat saya menyukainya? Ternyata ia begini saja, kok. Tak semanis yang kusangka." Lantas ia pun merasa salah pilih. Padahal, orang menikah itu, kan, enggak cuma seketika. Tentunya keputusan untuk menikah sudah dipikirkan matang-matang sebelumnya, karena menyangkut kehidupan pribadi. Jadi, kalau ia sampai merasa salah pilih berarti dulu enggak dipikir lagi sebelum memutuskan menikah.

Memang, aku Yati, tak semua pasangan akan mengalami hal demikian. "Ada, kok, yang sampai setahun tetap manis terus." Itu bisa terjadi kalau selama pacaran sudah saling membuka diri, sudah tahu yang jelek-jeleknya, sehingga tak kaget lagi setelah menikah. Tapi jika selama pacaran yang diketahui dan diperlihatkan hanya yang bagus-bagus saja, maka akibatnya akan mengalami masa rawan tersebut.

SOAL SEPELE YANG BIKIN KONFLIK

Adapun masalah yang kerap timbul di tahun pertama perkawinan, menurut Yati, sebenarnya cuma pernik-pernik yang kelihatannya sepele tapi dirasakan sangat mengganggu. Misalnya, soal yang satu jorok yang satu rapi. "Masak, kalau habis mandi handuknya main lempar sembarangan saja, bukannya diletakkan di tempatnya. Padahal sudah saya sediakan tempat. Belum lagi pulang kantor, sepatu ditaruh di bawah sofa, tas kantor di atas meja makan, taruh pakaian kotor sembarangan, dan sebagainya." Nah, hal-hal seperti itu kelihatannya kecil, tapi kalau pasangannya ternyata adalah orang yang sangat rapi dan teratur, maka ini bisa jadi masalah.

Selain itu, yang kerap muncul adalah tak pernah dibicarakannya soal keuangan. "Sebetulnya paling bagus ketika kita sudah serius sekali pacaran, bicarakan masalah keuangan ini. Bagaimana pandangan kamu tentang keuangan? Apakah harus ada pot yang diisi oleh gaji kita berdua, atau cukup dipegang masing-masing, hanya kamu bertanggung jawab dalam bidang apa dan saya bidang apa. Kelebihannya itu urusan masing-masing, dan sebagainya." Termasuk pemberian uang untuk orang tua masing-masing, juga harus dibicarakan. Kalau tidak, bakalan ribut, deh!

Yati lantas menuturkan pengalaman kliennya yang baru setahun menikah tapi sudah minta cerai. Gara-garanya, si suami memberi lebih banyak kepada orang tuanya daripada ke mertua. Karena ibunya janda dan tak punya pensiun sehingga dialah yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ibunya, sedangkan orang tua istrinya masih komplit dan tergolong berada. Tapi karena hal ini tak pernah dibicarakan, maka ketika si istri tahu tentunya ia menganggap tindakan suaminya itu tak adil. Jadilah mereka konflik dan si istri minta cerai.

Masalah lain yang kerap muncul ialah perilaku pasangan yang layaknya masih bujangan. Suami pulang ke rumah seenaknya, tak sadar istrinya menunggu untuk makan malam bersama, bersikap masa bodoh dengan keadaan rumah, dan lainnya.

Nah, bila itu semua sudah diketahui dan dibicarakan selagi masih pacaran, tentunya tak akan menjadi gangguan selama tahun-tahun pertama. Kalaupun ada gangguan, maka hanya berupa kerikil-kerikil kecil yang masih bisa disepak. Itulah mengapa Yati menganjurkan sebelum menikah sebaiknya kita sudah benar-benar tahu dengan siapa kita akan menikah, baik kelebihan maupun kekurangan.

Tentunya setelah tahu kita harus bersungguh-sungguh menerima dia apa adanya. Bukan menerima dengan setengah hati dan lantas berpikir, toh, nanti aku akan mengubah dia seperti apa maunya aku. "Itu kesalahan fatal," tandas Yati. Sebab, kita menikah dengan orang yang ketika bertemu sudah dewasa, yang pribadinya sudah terbentuk hingga ia dewasa itu. Jadi, kita tak mungkin bisa mengubahnya kecuali kalau ia memang mau mengubahnya sendiri.

Kecuali itu, pasangan juga harus sadar bahwa dalam perkawinan ada hak dan kewajiban. "Kadang orang hanya ingat pada hak dan lupa pada kewajibannya," ujar Yati. Adalah tugas kita untuk mengingatkan pasangan kalau ia sampai lupa pada kewajibannya, bahwa kewajibannya kini sudah menyangkut dua orang dan akan bertambah setelah punya anak, bukan sendiri lagi.

KOMUNIKASI DAN TOLERANSI

Tapi sebenarnya belum terlambat, kok, jika plus-minus tersebut tak diketahui saat masih pacaran. Toh, kita bisa melakukannya di awal perkawinan. Tapi hal ini hanya bisa terjadi apabila ada komunikasi, masing-masing saling membuka diri dan saling mendengarkan. Maklumlah, di tahun pertama perkawinan biasanya ego masing-masing masih sangat besar, selalu berbicara dalam konteks "aku" dan "dia", bukan "kami". "Padahal kalau orang sudah menikah berarti mereka telah menjadi satu. Jadi, dalam berbicara konteksnya bukan lagi 'aku' dan 'dia' tapi 'kami'. Pola 'demi kami' ini harus mulai dibiasakan sejak awal perkawinan," tutur Yati.

Misalnya, pasangan bilang, "Aku nggak suka kalau kamu marah terus lempar-lempar barang." Jangan malah kita bilang, "Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu kawin sama aku?" Karena hal ini malah akan memperuncing konflik. Si pasangan tentu akan bilang, "Karena aku nggak menyangka kamu sejelek itu makanya aku mau kawin sama kamu." Akibatnya, malah perang", kan! Yang terbaik adalah bersikap mengerti, "Jadi, menurut kamu aku mesti berubah? Tapi kalau aku harus berubah, sedikit saja, ya. Soalnya sejak kecil aku sudah begitu. Jadi susah, kan, kalau aku langsung berubah banyak. Tapi kalau menurut argumentasi kamu, aku harus mengubah diri, ya, aku akan berusaha." Nah, dengan begitu, kan, enak jadinya.

Intinya adalah membuka keran komunikasi lebar-lebar dan bersikap toleransi karena kita tak bisa mengubah pasangan seperti yang kita inginkan. "Dengan adanya toleransi kita akan sadar bahwa manusia tak ada yang sempurna. Lagipula, ketika kita memilih dia untuk menjadi pasangan kita, mestinya dalam kepala kita yang terpikir adalah he is the best for me. Nah, kenapa sekarang hanya lihat yang kurangnya saja?"

Jangan lupa, Yati mengingatkan, bila sampai terjadi pecah "perang" berarti bukan hanya satu yang kecewa. "Saya yakin pasangannya juga kecewa." Munculnya rasa kecewa ini menandakan belum seluruh "dirinya yang diketahui, sehingga yang terjadi adalah adalah ia hanya melihat sisi negatifnya saja. Nah, agar kita juga bisa melihat sisi positif pasangan, saran Yati, buatlah daftar tentang apa saja yang kita sukai dari pasangan. "Mestinya yang bagusnya juga banyak. Bukankah karena yang bagus-bagus itu makanya dulu kita mau kawin dengannya?"

Perlu disadari pula, tambah Yati, semua orang menikah pasti akan kecewa. Jadi, jangan berpikir bahwa hanya kita yang kecewa. Pasangan kita pun pasti punya kekecewaan juga. Selain itu, bila salah satu marah pada saat berkomunikasi, maka yang dingin sebaiknya meredakan. Kalau sudah reda barulah dilakukan pendekatan. Bila perlu, saran Yati, pergilah ke suatu tempat untuk membicarakannya.

INSTROPEKSI BERDUA

Sering terjadi, pasangan muda segan untuk mengungkapkan kekecewaannya. Dipikirnya, "Masak, sih, baru tahun pertama saya sudah merasa kecewa, sudah memancing keributan." Akibatnya, demi menghindari keributan, dipendamlah rasa kecewa tersebut. Padahal, akhirnya, toh, akan ribut juga karena suatu saat akan meledak juga setelah tak tahan memendam kekecewaan demi kecewaan.

Oleh sebab itu, pesan Yati, "kalau sudah mulai ada yang mrengkel di dada, kita harus membicarakannya dengan pasangan. Sebaliknya, kalau kita melihat pasangan sudah mulai merengut melulu tapi tak dikeluarkan, maka kita harus peka bahwa ada sesuatu yang salah." Nah, segera lakukan introspeksi berdua, "Kita ngomong, yuk. Apa, sih, yang kamu tak suka dari aku?" Lalu diskusikan, "Bagaimana caranya, ya, supaya aku tidak lempar-lempar barang lagi?" Dengan demikian, kita ataupun si pasangan bisa mengubah diri. "Tapi jangan salah persepsi, lo. Kita memang harus memulai perkawinan dengan tak berpikir bahwa kita bisa mengubah dia sesuai kehendak kita. Tapi dilain pihak, orang bisa berubah kalau ia mau berubah. Jadi, yang jelek bisa berubah bagus tapi perubahan itu atas kemauannya sendiri, bukan kita yang maksain."

Tentunya kita jangan berharap bahwa pasangan akan berubah dalam sehari. "Hargailah perubahan sekecil apapun." Misalnya, biasanya ia pulang kantor langsung lempar tas ke mana saja ia suka. Nah, kali ini tidak walaupun ditaruhnya masih sembarangan yaitu di atas meja.

Mungkin mata kita masih "sepat" melihatnya, tapi hargailah agar ia pun merasa dihargai, "Oh, dia melihat perubahanku walau sedikit." Lama-lama ia tentunya akan melangkah lagi. "Jadi jangan melihat suatu sukses itu dalam paket besar. Paket kecil-kecil pun lama-lama akan besar. Jangan lupa, yang berubah itu manusia yang sudah jadi pribadinya sehingga tak mudah secepat itu untuk berubah."

Selain itu, Yati minta agar kita lebih santai dalam menghadapi pasangan. Daripada istri marah, misalnya, "Masak taruh sepatu sembarangan? Jorok benar, sih, kamu! Saya capek harus mengurusi sepatumu terus," lebih baik katakan dengan santai, "Mbok, ya, jangan taruh di situ, tapi ke belakang sana di tempatnya." Begitu juga kalau suami komplain karena istrinya selalu memakai daster dan pakai peniti pula. Daripada marah, berilah alternatif, "Apa kamu mau saya belikan daster baru?" Begitu lebih enak, kan!

Menurut Yati, kalau kita berpikirnya alternatif, bukan hitam-putih, maka tak akan menimbulkan pertengkaran. Malah jadi lucu dan humor. Jadi, tandasnya, "asalkan kita bisa me-manage tahun pertama ini agar berjalan manis, maka akan bagus sekali."

Biasanya, masa pahit di tahun pertama akan berlangsung hingga tahun ke-4 perkawinan, karena sampai tahun tersebut kita masih dalam masa penyesuaian. Meskipun seharusnya memasuki akhir pertama kita sudah mulai bisa belajar menyesuaikan diri. "Nah, kalau prahara di tahun pertama bisa dilewati, biasanya di tahun kedua dan seterusnya akan manis," ujar Yati. Sebab, di tahun ke-2 dan seterusnya biasanya sudah ada anak, sehingga pikiran dan tenaga akan tercurah pada anak. Dengan demikian, yang tadinya hati mulai mendingin terhadap pasangan, jadi balik lagi dan bahkan bisa jadi hangat lagi dengan adanya anak.

Namun begitu bukan berarti pada tahun-tahun selanjutnya akan terus mulus. Sebab, yang namanya perkawinan merupakan proses, sehingga penyesuaian dan pertengkaran akan terus berjalan. Tinggal bagaimana kita menyiasatinya.

Oleh :Indah Mulatsih

Read More..

Setahun yang Lalu

Setahun lalu
Adalah momen tak terlupa
Adalah awal berlayarnya perahu cinta kita


Setahun lalu
Awal dari malam-malam yang terlewati tanpa kesendirian
Awal dari sebuah pertanggung jawaban konsekuensi dari pilihan hidup

Setahun lalu
Awal kita menapaki hidup bersama
Awal kebersamaan kita menuju Dia yang abadi

Setahun lalu
Kita menikah
Kau jadi suamiku dan aku jadi istrimu

Ya Allah, jadikan hari-hari kami menjadi lebih baik, amiin.
Ya Allah,anugerahkanlah kami keturunan yang sholeh dan sholehah
Ya Allah, aku rindu akan tangisannya
Aku rindu menimangnya

Read More..

Selasa, 26 Juli 2011

Bukan Aku

Bukan aku yang harus disalahkan
semua karena keadaan


Bukan aku yang menginginkan itu terjadi
tapi semua sudah tertulis

Dan seharusnya
Bukan aku yang harus kau kenang
aku hanya masa lalu
Bukan aku yang harus kau ingat
aku hanya sebuah bayangan

Dan selayaknya
Bukan aku yang harus kau rindukan
aku sudah menyakitimu
Bukan aku yang harus kau impikan
aku tak bermimpi lagi

Bukan aku lagi
carilah penggantiku
Bukan aku lagi
Lupakanlah aku

Aku sudah bersama yang lain
Meski sulit inilah sebuah pilihan
Temukan mimpimu yang sesungguhnya

Read More..

Rabu, 13 Juli 2011

Sedang ingin sendiri

Berjalan sendiri bukan tidak ada yang menemani
Tapi aku memang tak ingin kau temani...


Aku ingin berjalan dengan ingatanku padamu saja kali ini
Kesendirian ini, untuk mengingat semua keindahan hidup saat saat bersamamu..
Berjalan diantara kenangan yang kita hias bersama
Aku tak hendak menggenggam tanganmu dalam melintasi kenangan kali ini
Meski aku yakin engkau selalu ada untukku.
Aku tak ingin di temani tapi ingatanku sedang denganmu
Ragaku di sini tetapi jiwaku mengembara mencari hatimu
Merentas pikiran dalam menyatuan asa
Menunggu waktu untuk bersama di surga kita

Read More..