Rabu, 27 Juli 2011

Kosong

Dikutip dari :http://www.edo.web.id/wp/2009/09/19/kosong/

Lebaran tengah menjelang. Ramadhan mencapai akhirnya. Apa yang kita dapatkan di Ramadhan kali ini?

Bertahun-tahun lebaran saya isi dengan sebuah kekecewaan tentang makna puasa dan lebaran itu sendiri. Selalu apatis terhadap orang yang pulang kampung yang menghabiskan jutaan rupiah sebagai bentuk ke-ria-an (bukan riya) meski membuat roda ekonomi bergulir cepat. Selalu sinis ketika orang berduyun-duyun narsis dan gombal pada Tuhan-nya, menuntut pamrih atas janji-Nya dibulan penuh rahmat. Mengutuk menurunnya produktifitas atas nama perintah agama dan Tuhan. Mempertanyakan apakah memang ini yang diharapkan-Nya dibulan suci ini.


Daripada buang uang dengan mudik dengan berbagai polusi yang diciptakan oleh jutaan kendaraan, lebih baik digunakan untuk yang lebih bermanfaat kataku. Mengingat Tuhan itu bukan hanya dominasi bulan puasa, toh harus dilakukan kapan saja. Bahkan janji Tuhan itu tak perlu ditagih. Sorga dan neraka itu tak perlu dipertanyakan. Produktifitas seharusnya meningkat di bulan suci, bukannya malah loyo dan berejakulasi atas nama Tuhan. Begitulah apa yang ku fahami selama ini.

Dan tahun ini?

Tahun ini aku masih berontak pada-Nya. Tapi dalam sebuah kelelahan. Sebuah ketidakberdayaan. Tak ada lagi serapah tentang mudik, narsis dan produktifitas. Tidak ada. Yang tersisa hanya kekosongan. Sebuah refleksi ke-aku-an ku. Keakuan ternyata hanya menghasilkan sebuah kekosongan. Hanya yang esa yang berhak dan layak berkata Aku. Karena ke-Aku-an memang hanya akan menghasilkan kesendirian. dan aku lelah.

Didiri manusia memang bersemayam nilai ketuhanan, termasuk nilai iblis, setan, malaikat, binatang. Wajar sebenarnya jika manusia memiliki sisi ke-aku-an, sebagai representatif sisi ke-Tuhan-annya. Hanya saja dia akan menjadi masalah ketika aku itu menciptakan kesombongan. Berada dititik yang tidak seharusnya. Dan yang lebih merepotkan lagi, jika Aku yang sedang bersemayam bukan Aku-nya Tuhan. Tapi aku-nya setan, aku-nya iblis, aku-nya binatang. Dan usai lah sudah. Dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh manusia, potensi untuk memahami segala sesuatu secara tidak utuh sangat mungkin terjadi. Dan yang ada adalah sebuah kefahaman yang didasari oleh ketidakfahaman.

Sebuah tulisan dari sang bengawan Gede Prama tentang kosong dan isi menyadarkanku atas rasa yang bergulat kali ini. Tentang kosong. Tentang isi.

Kosong, nol, hampa, tiada. Kekosongan memang identik dengan nilai-nilai yang berbau tidak menyenangkan. Kosong itu menyiksa, hampa itu menakutkan, tiada itu mengerikan. Dan memang begitu adanya, jika alat ukur yang digunakan hanyalah kepala.

Namun pernahkan terbayang jika alam semesta ini semua terisi, sehingga bahkan udarapun tidak memiliki tempat untuk bersemayam? Lalu apa yang akan kita hirup untuk menyambung hidup?.

Kepala ini semakin pusing ketika pemahaman-pemahaman itu tak berhenti mengisi ruang-ruang otak. Aku lupa. Lupa bahwa berfikir itu bukan saja hak otak. Masih ada hati yang harus digunakan. Paradigma dikotomis benar-salah, sukses-gagal, sedih-gembira dan lain sebagainya sebagai hasil berfikir dengan kepala yang berlebihan ternyata hanya menghasilkan sebuah keruwetan yang memusingkan dan tak bernah ada akhirnya.

Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bekasnya
Tawa dan airmata datang dari sumber yang sama
Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam jiwa
Semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan

Begitu kata sang begawan Gibran. Jika saja sedih dan bahagia itu diganti dengan kosong dan isi, maka besarkan kekosongan itu juga bermakna seberapa besar isi yang bisa ditampung.

Hanya yang pernah sakit yang mengerti nikmatnya sehat. Hanya yang pernah kehilangan yang mampu mensyukuri nikmatnya memiliki sesuatu. Hanya yang pernah sedih yang mampu menikmati artinya bahagia.

Bulan puasa kali ini benar-benar telah memberikan makna yang dalam bagiku. Karena bulan ini adalah waktu yang dispesialkan oleh Tuhan untuk mengosongkan diri. Untuk berhenti sejenak dari analisa-analisa tak berujung yang dibuat oleh kepala. Agar kita mampu memahami arti sebuah kekosongan, ketidakberdayaan, ketidak-kuasa-an.

Duh, betapa sulit untuk mampu bersikap arif…

Diselingi nyanyian takbir, aku, disini, mencoba memahami kekosongan. Mencoba mencari sesuatu dari ketiadaan. Mengharap mendapat makna yang dalam, dari kekosongan dan ketiadaan itu itu sendiri. Mengharap mampu seperti udara, yang hidup di ruang kosong tapi memberi manfaat yang luar biasa. Mencoba memahami bahasa tangis bayi, yang apapun sukunya, siapapun bapaknya, ditanah manapun dia terlahir, dia tetap menghasilkan bunyi yang sama. Dan bahasa itu mampu dipahami oleh siapa saja.

Selamat hari raya Idul Fitri…

Mohon maaf lahir dan Bathin…

Hening itu tidak mati. Dalam hening ada suara - Aas Rukasa. Thank you kang…

Tidak ada komentar: