Senin, 01 November 2010

Sabar ada batasnya dan sabar tiada berbatas

By Jaafar SHODDIK
Banyak orang yang mengatakan "sabar itu ada batasnya" namun banyak juga yang mengatakan sebaliknya, yaitu "sabar itu tidak ada batasnya, yang ada hanyalah keterbatasan manusia dalam merefleksikan sabar di dalam hatinya."

Ada yang mengatakan sabar ada batasnya dan ada juga sebaliknya bahwa sabar itu tidak ada berbatas. Bagaimana mempertemukan kedua pandangan seperti itu?

Kita sering mengasosiasikan sabar itu dengan tidak marah, dan ya memang salah satu penempatan sabar adalah dengan menahan amarah. Walaupun sebenarnya masih banyak 'bidang-bidang' lain yang dapat menjadi ladang pembuktian kesabaran, seperti ketika ditimpa musibah, ketika belum juga mendapatkan anak meski sudah bertahun-tahun menikah, ketika usaha merugi dan lain sebagainya. Kesemuanya itu hadir sebagai variasi dalam hidup dan manusia dituntut untuk bersabar karenanya.

Namun kembali kepada paragraf awal, apakah kesabaran itu berbatas atau tidak? Cerita di bawah ini mudah-mudahan dapat merefleksikan seberapa besar mestinya kesabaran itu.

Suatu hari teman bercerita, dia meminta masukan tentang masalah yang dihadapi oleh temannya, seorang wanita berusia 30 an, kita sebut saja si A. Si A ini sudah berumah tangga dan memiliki dua orang anak.

Seperti yang banyak terjadi, masa manis di awal pernikahan umumnya jarang bertahan lama. Keindahan biduk rumah tangga umumnya akan terus mendapatkan ujian, baik ujian itu datangnya dari faktor eksternal ataupun internal mereka sendiri.

Kali ini si A harus menghadapi pil pahit rumah tangga karena suaminya ketahuan berselingkuh. Total sudah 3x suaminya si A ketahuan berselingkuh dengan wanita lain. Untuk yang ketiga ini ceritanya terbilang unik yaitu suatu malam ketika suaminya sedang terlelap tidur dan dia lupa mematikan komputer, istrinya pelan-pelan mengendap dan mencoba mencari tahu aktivitas apa saja yang dilakukan suaminya di dunia maya. Dia lihat browser yang masih terbuka dan di salah satu tab browser terlihat account Facebook suaminya yang belum di-signout. Dia telusuri satu persatu apa-apa yang ada di account facebook suaminya, mungkin persis seperti seorang penyelidik polisi yang sedang mencari barang bukti :D.

Yang membuat kaget si A adalah ketika dia membuka Pesan (Messages) yang terdapat di Facebook suaminya. Dia dapati rangkaian pesan dari seorang wanita, begitu juga dia dapati balasan pesan dari suaminya kepada wanita tersebut, kesemuanya berisikan kalimat-kalimat mesra dan romantis. Bahkan terdapat juga pesan-pesan yang isinya seperti janji ketemuan, waktu ketemuan dan tempat ketemuan yang kontan saja membuat si A marah.

Tanpa membangunkan suaminya, malam itu juga si A segera berkemas membawa barang-barang miliknya dan sekaligus membawa kedua anaknya untuk pulang ke rumah orangtuanya di Bogor.

Esok paginya tentu saja suami si A menjadi kepalang bingung ketika tahu istri dan anak-anaknya sudah menghilang.

Singkat cerita suaminya si A mencoba membujuk istrinya agar kembali ke rumah, dia memohon maaf atas apa-apa yang telah ia perbuat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi (Nada lama mungkin menurut istrinya :D).

Si A yang sudah ketiga kali merasa dikhianati tidak mau begitu saja memaafkan suaminya karena ia tahu dan sadar banget bahwa janji yang selama ini diucapkan untuk tidak mengulangi perbuatannya juga telah dilanggar sendiri oleh suaminya, sehingga si A berpikir untuk apa berjanji lagi apabila terus-terusan dilanggar.

Kesabarannya saat itu benar-benar sedang diuji dan saat itu juga dengan menyimpan rasa marah bercampur kesal dan benci, dia memutuskan untuk tidak menerima permohonan maaf suaminya dan tetap bersikeras untuk meminta cerai.

Sang suami sendiri yang sudah memohon-mohon juga tetap tidak mau menceraikan istrinya.

Cerita di atas adalah gambaran bagaimana sebuah sifat yaitu sabar yang sedang diuji. Sejauh manakah si A bisa bersabar dengan ulah suaminya yang selalu mengkhianati dirinya.

Jika mengacu pada pemahaman yang pertama (sabar ada batasnya) maka langkah si A untuk tidak memaafkan suaminya dan meminta cerai adalah hal yang wajar karena selama ini dia selalu dikhianati, tapi jika mengacu pada pemahaman yang kedua maka langkah si A untuk tidak memaafkan suaminya dan meminta cerai boleh jadi adalah hal yang kurang pas, karena siapa tahu di permohonan maaf yang ketiga ini suaminya benar-benar bertaubat, tidak akan berselingkuh lagi dan ke depannya bisa menjadi suami yang baik.

Ketika saya ditanya teman, masukan dari saya seperti apa untuk kasus si A itu maka saya menjawab: jika dia mau mendapatkan banyak kebaikan maka bersabarlah dan maafkanlah suaminya, tetapi jika dia mau meminta cerai itu pun perkara yang diperbolehkan, karena agama telah memberikan jalan keluar apabila terjadi masalah dalam rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan lagi yaitu dengan jalan bercerai.

Lalu teman kembali bertanya: "Lantas bagaimana dengan sikap suaminya yang menolak menceraikan?", saya jawab: "Solusinya bisa tengah-tengah seperti ini, maafkan suaminya, kembali rujuk tapi buat surat perjanjian hitam di atas putih yang berisikan ketentuan bahwa jika seandainya nanti suaminya ketahuan berselingkuh lagi maka ia akan menceraikan istrinya tanpa syarat".

Sabar tiada batasnya memang boleh jadi bisa dilakukan tapi sabar tidak ada batasnya pun merupakan fitrah manusia yang kita sendiri dalam kondisi tertentu mungkin pernah melakukannya, dan Allah sendiri pun paham akan hal tersebut dengan memberikan beberapa solusi untuk beragam permasalahan, seperti membolehkan perceraian walaupun bercerai itu adalah perbuatan halal yang paling dimurkai-Nya atau memberikan keringanan kepada mereka yang sakit untuk shalat sambil duduk.

Wallahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar: